Kamis, 14 November 2013

PUISI DAN CERPEN REALITA SOSIAL




Tidak habis pikir mata ini memandang
Pesona keindahan alam begitu terbentang
Barisan bukit – bukit nampak begitu indah
Bentangan samudra nan kaya hasil laut,
hamparan hutan begitu menyegarkan udara

Namun kulihat kini dimana keberadaanmu?
Kenapa engkau semakin tiada
Hutan – hutan banyak yang digunduli
Laut – laut banyak yang tercemar
Kawasan persapan banyak dijadikan perumahan

Apakah memang bumi Indonesia telah rusak?
Wahai manusia Indonesia, Ada apa dengan sikapmu?
Kenapa kau di luar batas?
Perilakumu begitu menghancurkan alam ini
Lihatlah, tataplah dan pandanglah
Alam Indonesia kini sedang bersedih

Sumber :  answers.yahoo.com/question/index?qid=20120402065453AAS86cO







Pencuri Kambing
Dua pemuda mantan pencuri kambing duduk di balai jaga. Akrab sekali. Mereka telanjang kepala. Saling tatap muka. Merokok pula. Mereka berlomba-lomba membentuk asap seperti huruf “o”. Siapa yang bulatannya bertahan lama, “dialah yang bakal dipilih!” ujar Sulaiman pada Hasballah.
Mereka ingin mencalonkan diri sebagai kandidat ketua pemuda. Mereka tak khawatir kalau warga tak mau memilih. Perihal mencuri adalah cerita lama. Kini mereka, dalam sebulan terakhir tepatnya, sudah jadi remaja masjid. Ketika masuk waktu salat wajib, mereka rebutan mik di masjid. Berlomba-lomba jadi muazzin. Siapa yang paling banyak mengumandangkan azan, “dia yang akan dipilih!” kata Hasballah pada Sulaiman.
Rupanya, tingkah laku mereka selama ini menarik perhatian warga. Penduduk kampung dimana sang pemimpin kabupaten mereka itu lahir, yakin, bahwa kalau dijadikan sebagai ketua pemuda, tabiat Sulaiman dan Hasballah akan semakin berubah. Dan, kampung mereka akan memenangkan lomba kampung teraman dan terbersih yang diadakan setahun sekali oleh camat. Bahkan imam masjid, kepala kampung, dan perangkat kampung lainnya sudah mulai membicarakan dan berniat untuk mengangkat dua anak mantan pencuri kambing itu sebagai ketua pemuda. Namun segenap mereka bingung: siapa yang patut dipilih.  Hanya seorang yang diperlukan, sesuai peraturan.
“Lah, kau dengar kata imam masjid kemaren? Hanya seorang di antara kita yang bakal diangkat,” ucap Sulaiman. “Leman… Leman. Jelaslah. Karena itu, siapa yang bisa merebut hati warga, dialah yang bakal menang.” Hasballah melepaskan asap ke muka Sulaiman. “O, kalau begitu, aku punya ide. Lihat saja nanti,” janji Sulaiman, seraya merebahkan diri di pos jaga malam itu.
Setengah bulan jelang pemilihan, mereka berkampanye. Tapi tidak melalui panggung-panggung. Mereka mendekati warga di warung-warung. Ditanggungnya semua minuman pengunjung, siapa saja, dengan uang dari hasil panen cabai merah di kaki bukit. Tak sedikit mereka menyebut-nyebut program yang akan dilaksanakan seandainya terpilih.
“Jika abang-abang, ibu-ibu, adek-adek, kakak-kakak, dan kakek-nenek memilih saya, maka takkan ada lagi lubang-lubang di jalan kampung kita. Tak ada lagi anak-anak pengangguran. Saya akan buka kebun raya di lahan warisan ayah saya,” janji Sulaiman pada setiap orang yang ditraktirnya. “Saya bujuk Pak Camat untuk mendirikan gedung SMA di kecamatan kita, supaya anak-anak kampung kita tak perlu sekolah ke kecamatan tetangga. Saya bujuk Pak Camat yang merupakan bukan orang kecamatan kita itu untuk mendirikan pasar, agar kita tak perlu ke pasar kecamatan orang,” canang Hasballah pada setiap orang yang ditraktirnya.
Seminggu jelang pemilihan, warga kian bingung. Warga sudah melupakan masa lalu Sulaiman dan Hasballah. Warga bahkan sepakat tak mau memilh lagi ketua pemuda yang sedang menjabat ini, Bahrun, karena dinilai telah menipu warga; awal-awal memimpin mengagumkan, tapi mulai pertengahannya cukup membuat warga resah.
Sampai pada hari pemilihan, cuma ada tiga calon: Sulaiman, Hasballah, dan Bahrun. Sulaiman dan Hasballah yakin sekali kalau warga tak akan lagi memilih Bahrun; mereka menganggapnya tak ada. Bahrun santai saja menanggapinya. Malahan dia yakin kalau warga akan memercayainya lagi.
Detik-detik jelang pengumuman ketua pemuda baru, tiba-tiba polisi sektor datang ke lokasi pemilihan sekaligus pengumuman, di halaman masjid. Warga panik. Lalu polisi tanyai warga perihal dua pemuda yang suka mencuri kambing. Seketika, segenap warga menaruh curiga pada Sulaiman dan Hasballah yang sedang bincang-bincang sama Pak Camat, Bahrun, dan aparatur mukim dalam masjid.
Buru-buru aparat masuk ke masjid. “Kami meminta kalian berdua untuk ikut kami. Segera!” Kata seorang polisi. Sulaiman dan Hasballah, juga Pak Camat dan sejumlah perangkat kampung terkejut. Mereka memang sudah menduga dari dulu, kalau dua pemuda itu pura-pura baik selama ini. “Jangan salah paham, Bapak-bapak. Kami cuma ingin jadikan mereka berdua sebagai mitra kami. Kami ingin jadikan mereka sebagai detektif pencurian untuk mengusut kasus pencurian kambing yang sedang marak terjadi di kecamatan kita. Mereka ini kan sudah berpengalaman, jadi sudah tahu gerak-gerik dan ciri-ciri pencuri kambing,” jelas polisi. Semuanya lega. Bahkan Sulaiman dan Hasballah tak percaya.
Kemudian hari, selain merangkap jabatan sebagai ketua pemuda bagi Hasballah dan wakilnya bagi Sulaiman, mereka nyaris setiap hari bantu polisi memburu pencuri kambing, secara bergiliran. Puncaknya, tepat setahun kerjasama, Sulaiman berhasil bantu polisi menangkap seorang pencuri kambing lintas kabupaten paling diburu, yakni Bang Landok. Tapi Sulaiman bagai ditembak di kepala kala itu. Bang Landok adalah ayahnya yang meninggalkan dirinya dan ibunya lima tahun silam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar