Rabu, 06 April 2011

Perekonomian Indonesia bab XI

NERACA PEMBAYARAN, ARUS MODAL ASING, DAN UTANG LUAR NEGERI

1.Neraca Pembayaran
Neraca pembayaran merupakan suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. Umumnya neraca pembayaran terbagi atas neraca transaksi berjalan dan neraca lalu lintas modal dan finansial, dan item-item finansial.
Transaksi dalam neraca pembayaran dapat dibedakan dalam dua macam transaksi.

Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari dalam negeri ke luar negeri. Transaksi ini disebut transaksi negatif (-), yaitu transaksi yang menyebabkan berkurangnya posisi cadangan devisa.
Transaksi kredit adalah transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari luar negeri ke dalam negeri. Transaksi ini disebut juga transaksi positif (+), yaitu transaksi yang menyebabkan bertambahnya posisi cadangan devisa negara.

Bentuk Umum Neraca Pembayaran
Pendapatan yang berkaitan dengan neraca pembayaran

· PDB/GDP (Produk Domestik Bruto/Gross Domestik Product)
Produk Domestik Bruto adalah jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit produksi dalam batas wilayah suatu negara selama satu tahun. Dalam perhitungannya, termasuk juga hasil produksi dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah yang bersangkutan.

· PNB/GNP (Produk Nasional Bruto/Gross Nasional Product)
PNB adalah seluruh nilai produk barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat suatu negara dalam periode tertentu, selama satu tahun, yang meliputi barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat negara tersebut yang berada di luar negeri.
GNP = GDP – Produk netto terhadap luar negeri

· Pendapatan per Kapita
Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.

· Pendapatan Nasional
Pendapatan nasional adalah merupakan jumlah seluruh pendapatan yang diterima oleh masyarakat dalam suatu negara selama satu tahun.

2.Arus Modal Masuk


Jakarta - World Bank (Bank Dunia) menilai perbaikan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik termasuk Indonesia berlangsung sangat kuat. Hal ini menyebabkan adanya risiko yang bermunculan seperti arus modal yang melonjak pesat.

Ekonom Kepala Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik Vikram Nehru mengatakan dengan didorong oleh likuiditas global yang melimpah untuk mendapatkan hasil serta digabungkan dengan pengharapan akan pertumbuhan yang lebih kuat dikawasan, menjadikan arus modal yang melonjak.

"Arus masuk yang lebih besar telah membantu apresiasi nilai tukar, diluar adanya intervensi pasar oleh bank sentral. Arus masuk ini juga telah membantu meningkatkan harga aset," jelas Vikram dalam Update Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia di Gedung BEI, Jalan Sudirman, Jakarta, Selasa (19/10/2010).
Pemerintah menyatakan derasnya arus modal masuk (capital inflow) masih akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2011. Derasnya arus modal tersebut harus tetap diwaspadai karena sewaktu-waktu bisa terjadi gelembung ekonomi alias bubble.

"Keaadaan seperti ini, masih akan berlangsung sampai pertengahan tahun 2011 dimana dana yang likuid masih mengalir ke negara berkembang terutama Indonesia," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo ketika menjadi pembicara kunci seminar nasional Ikatan Bankir Indonesia (IBI) di Hotel Le Meridien, Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (24/11/2010).

Agus mengungkapkan, adanya capital inflow menunjukkan tingginya kepercayaan asing terhadap Indonesia. Tetapi, Agus mengkhawatirkan jika tidak direspon dengan berbagai kebijakan maka akan terjadi bubble.

"Inflow menunjukkan tingginya kepercayaan asing namun juga harus diwaspadai potensi bubble. Perlu diperhatikan pengendalian capital inflow di sisi yang tepat," tuturnya.

Ia menyatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk menjaga arus modal masuk tersebut serta mengelolanya dengan berbagai kebijakan. "Crisis Management Protocol selalu dilakukan oleh pemerintah dan BI untuk mencegah bubble tersebut," jelasnya.

Didepan para bankir, Agus meminta seluruh industri perbankan untuk ikut memanfaatkan inflow yang masih akan deras mengalir. Antara lain, Agus mengatakan perbankan harus bisa mendorong nasabahnya untuk aktif menempatkan dananya untuk investasi.

"Selain itu memanfaatkan inflow dengan melakukan right issue dan penerbitan subdebt serta obligasi," ungkapnya.

Menurutnya, pemerintah juga akan mendorong pergerakan modal masuk ke sektor properti. Hal ini, lanjut Agus dikarenakan sektor properti merupakan investasi jangka panjang.
"Kami juga arahkan untuk BUMN melakukan IPO serta melakukan penerbitan surat berharga," katanya.
Lebih jauh Agus juga meminta kepada seluruh pihak agar menjaga iklim investasi dan sistem keuangan dijauhkan dari moral hazard. "Jangan sampai ada moral hazard dan adanya missmacht penempatan di instrumen invstasi. Jangan sampai investasi yang jangka pendek di tempatkan di underlying yang jangka panjang," kata Agus.

3. Utang Luar Negri

Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.
Modal asing diperlukan selain untuk meningkatkan investasi (capital formation) di dalam negeri, selama tidak memberi suatu dampak negatif terhadap pembentukan / pertumbuhan tabungan domestik, juga untuk membiayai defisit transaksi berjalan (impor) atau menutupi kekurangan cadangan devisa.

1. Faktor Penyebab
Salah satu komponen penting dari arus modal masuk yang banyak mendapat perhatian di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di LCDs adalah hutang luar negeri (ULN). Bagi Indonesia, sejak krisis ekonomi yang diawali dengan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997 lalu yang nyaris membuat financial Indonesia bangkrut karena jumlah ULN-nya (terutama dari sektor swasta) yang sangat besar. Apalagi sebagian besar dari perusahaan-perusahaan dalam negeri Indonesia tidak mampu untuk membayar kembali ULN mereka.
Sejak krisis ULN dunia yang terjadi pada awal dekade 1980-an, masalah ULN yang dialami oleh banyak LDCs tidak kian membaik. Krisis ULN terjadi sampai menyebabkan negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program penyesuaian struktural (structural adjustment) terhadap ekonomi dalam negeri mereka atas desakan dari bank dunia dan IMF, sebagai syarat utama guna memperoleh dana pinjaman baru dan/ atau pengurangan terhadap pinjaman lama.
Tingginya ULN dari banyak LDCs disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor, yaitu defisit transaksi berjalan, kebutuhan dana untuk investasi melebihi jumlah dana yang tersedia di dalam negeri karena tabungan domestik rendah (investment-saving gap), tingkat inflasi yang tinggi, dan structural inefficiencies di dalam perekonomian mereka.
Dari faktor-faktor tersebut, defisit transaksi berjalan sering disebut di dalam literatur sebagai penyebab utama membengkaknya ULN LDCs. Besarnya defisit transaksi yang melebihi surplus saldo neraca modal membuat BOP defisit dan berarti juga cadangan devisa berkurang. Apabila saldo transaksi berjalan setiap tahun negatif, maka cadangan devisa dengan sendirinya dapat habis jika tan pa ada sumber-sumber lain.
Utang luar negeri suatu negara ditentukan oleh tingkat optimalisasi penggunaan dana yang ada oleh masyarakat di negara tersebut dengan kesempatan yang ada untuk meminjam dari pasar internasional dan pilihan yang ada antara mengkonsumsi dan menanam K (alun, 1992).
Menurut Sachs (1981, 1982) negara yang memiliki masalh dalm pelunasan ULN akan cenderung untuk tidak menunda pembayaran utangnya karena jika pelunasannya ditunda hal tersebut akan semakin berimbas pada perdagangan internasional dan arus K masuk. Jadi, kenaikan dalam pelunasan utang (LS) cenderung menaikan ULN.

Utang Era Soekarno (1945–1966)
Presiden Soekarno adalah sosok pemimpin yang sebenarnya anti utang. Salah satu bapak pendiri bangsa ini pernah memberikan satu pernyataan terkenal yaitu “Go To Hell with Your Aid” yang menyikapi campur tangan IMF pada peristiwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada 1956. Dari pernyataan tersebut, Soekarno dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang tegas dan berani mengambil sikap untuk menolak intervensi asing.

Namun, pada akhir pemerintahan Soekarno, negara ini ternyata dibebani oleh utang. Seperti dikutip dari harian Republika (17/4/2006), jumlah utang Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno sebesar US$6,3 miliar, terdiri dari US$4 miliar adalah warisan utang Hindia Belanda dan US$2,3 miliar adalah utang baru. Utang warisan Hindia Belanda disepakati dibayar dengan tenor 35 tahun sejak 1968 yang jatuh tempo pada 2003 lalu, sementara utang baru pemerintahan Soekarno memiliki tenor 30 tahun sejak 1970 yang jatuh tempo pada 1999.

Utang Era Soeharto (1966–1998)
Pada masa Orde Baru, utang didefinisikan menjadi penerimaan negara. Berarti pemerintah saat itu membiayai program-program pemerintah melalui instrumen pendapatan yang salah satunya adalah utang. Jika dilihat dari struktur anggaran pemerintah, maka utang dimasukkan ke dalam porsi penerimaan selain pajak.

Selama 32 tahun berkuasa, ciri kuat pemerintahan Orde Baru adalah sangat sentralistik dan sering disindir berasaskan “Asal Bapak Senang” (ABS) sehingga kerap membuat masalah utang negara menjadi hal yang “tabu” untuk dibicarakan. Akibatnya, pengelolaan utang negara pun menjadi sangat tidak transparan. Orde Baru “diklaim” berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahannya maka utang negara bertambah sekitar Rp46,88 triliun tiap tahun.

Sampai 1998, dari total utang luar negeri sebesar US$171,8 miliar, hanya sekitar 73% yang dapat disalurkan ke dalam bentuk proyek dan program, sedangkan sisanya (27%) menjadi pinjaman yang idle dan tidak efektif. Alhasil, di masa Orde Baru, utang negara tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini disebabkan sistem pemerintahan yang sentralistik yang mengakibatkan pemerintah sulit untuk melakukan pemerataan pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah, bukan berdasarkan keinginan pusat.

Pada masa Orde Baru, kredit Indonesia mendapat rating BBB dari Standard & Poor’s (S&P), lembaga penilai keuangan internasional. Rating BBB, yang hanya satu tingkat di bawah BBB+, membuat iklim investasi dan utang Indonesia pada masa Orde Baru dinilai favorable bagi para investor, baik domestik maupun asing. Komposisi utang Orde Baru terdiri atas utang jangka panjang dengan tenor 10–30 tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan bahwa utang Orde Baru jatuh tempo pada 2009 dengan struktur utang yang jatuh tempo sepanjang tahun 2009 adalah sebesar Rp94 triliun, terdiri dari Rp30 triliun berupa utang domestik dan Rp64 triliun berupa utang luar negeri.

Utang Era Habibie (1998–1999)
Masa pemerintahan B. J. Habibie merupakan pemerintahan transisi dari Orde Baru menuju era Reformasi. Habibie hanya memerintah kurang lebih setahun, 1998–1999. Pada 1998 terjadi krisis moneter yang menghempaskan perekonomian Indonesia dan pada saat yang bersamaan juga terjadi reformasi politik. Kedua hal ini mengakibatkan rating kredit Indonesia oleh S&P terjun bebas dari BBB hingga terpuruk ke tingkat CCC. Artinya, iklim bisnis yang ada tidak kondusif dan cenderung berbahaya bagi investasi.

Pada masa pemerintahan Habibie, utang luar negeri Indonesia sebesar US$178,4 miliar dengan yang terserap ke dalam pembangunan sebesar 70%, dan sisanya idle. Terjadinya penurunan penyerapan utang, yaitu dari 73% pada 1998 menjadi 70% pada 1999, disebabkan pada 1999 berlangsung pemilihan umum yang menjadi tonggak peralihan dari Orde Baru menuju era Reformasi. Banyak keraguan baik di kalangan investor domestik maupun investor asing terhadap kestabilan perekonomian, sementara pemerintah sendiri saat itu tampak lebih “disibukkan” dengan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Utang Era Gus Dur (1999–2001)
Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, naik sebagai Presiden RI ke-4 setelah menang dalam Pemilu 1999. Namun, pada masa pemerintahan Gus Dur kerap terjadi ketegangan politik yang kemudian membuat Gus Dur terpaksa lengser setelah berkuasa selama kurang lebih dua tahun 1999–2001. Pada masa Gus Dur, rating kredit Indonesia mengalami fluktuasi, dari peringkat CCC turun menjadi DDD lalu naik kembali ke CCC. Salah satu penyebab utamanya adalah imbas dari krisis moneter pada 1998 yang masih terbawa hingga pemerintahannya.

Saat itu utang pemerintah mencapai Rp1.234,28 triliun yang menggerogoti 89% PDB Indonesia. Porsi yang cukup membahayakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Selain porsi utang yang besar pada PDB, terjadi pula peningkatan porsi bunga utang terhadap pendapatan dan belanja negara. Rasio bunga utang terhadap pendapatan pada 2001 meningkat sekitar 4,6%, dari 24,4% menjadi 29%, sedangkan terhadap belanja meningkat sebanyak 2,9% menjadi 25,5% pada tahun yang sama. Saat itu Indonesia dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perangkap utang (debt trap). Pemerintahan Gus Dur mencatatkan hal yang positif dalam hal utang, yaitu terjadi penurunan jumlah utang luar negeri sebesar US$21,1 miliar, dari US$178 miliar pada 1999 menjadi US$157,3 miliar pada 2001. Namun, utang nasional secara keseluruhan tetap meningkat, sebesar Rp38,9 triliun, dari Rp1.234,28 triliun pada 2000 menjadi Rp1.273,18 triliun pada 2001. Sementara itu, porsi utang terhadap PDB juga mengalami penurunan, dari 89% pada 2000 menjadi 77% pada 2001.

Utang Era Megawati (2001–2004)
Masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri hanya berlangsung selama tiga tahun (2001–2004). Namun, pada masa pemerintahan presiden wanita Indonesia pertama ini banyak terjadi kasus-kasus yang kontroversial mengenai penjualan aset negara dan BUMN. Pada masanya, Megawati melakukan privatisasi dengan alasan untuk menutupi utang negara yang makin membengkak dan imbas dari krisis moneter pada 1998/1999 yang terbawa sampai saat pemerintahannya. Maka, menurut pemerintah saat itu, satu-satunya cara untuk menutup APBN adalah melego aset negara.

Privatisasi pun dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI. Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun (2001), Rp7,7 triliun (2002), dan Rp7,3 triliun (2003). Jadi, total Rp18,5 triliun masuk ke kantong negara.

Alhasil, selama masa pemerintahan Megawati terjadi penurunan jumlah utang negara dengan salah satu sumber pembiayaan pembayaran utangnya adalah melalui penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp1.273,18 triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau turun sekitar Rp48,3 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp1.299,5 triliun. Rata-rata peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan Megawati adalah sekitar Rp25 triliun tiap tahunnya.

Namun, terdapat hal positif lain yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati, yaitu naiknya tingkat penyerapan pinjaman luar negeri Indonesia. Sejak 2002 hingga 2004, penyerapan utang mencapai 88% dari total utang luar negeri yang ada. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah makin serius menggunakan fasilitas utang yang ada untuk kegiatan pembangunan. Keseriusan pemerintah dapat dilihat dari porsi utang terhadap PDB yang makin turun, yakni dari 77% pada 2001 menjadi 47% pada 2004. Menurunnya rasio utang terhadap PDB turut menyumbang meningkatnya rating kredit yang dilakukan oleh S&P dari CCC+ pada 2002 menjadi B pada 2004.

Utang Era SBY (2004–2009)
Pemerintahan SBY-JK dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-nya menjadi pemerintahan pertama yang dipilih melalui sistem pemilihan umum langsung di Indonesia. Sistem politik yang makin solid membawa ekspektasi dan respons positif pada kondisi perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari nilai PDB Indonesia yang terus meningkat hingga mendekati angka Rp1.000 triliun pada 2009. Tingkat kemiskinan pun diklaim “turun” oleh pemerintah (meskipun sampai saat ini definisi mengenai kemiskinan masih menjadi perdebatan).

Namun, bagaimana dengan masalah pengelolaan utang negara pada pemerintahan ini? “Diwarisi” utang oleh pemerintahan sebelumnya sebesar Rp1.299,5 triliun, jumlah utang pada masa pemerintahan SBY justru terus bertambah hingga menjadi Rp1.700 triliun per Maret 2009. Dengan kata lain, rata-rata terjadi peningkatan utang sebesar Rp80 triliun setiap tahunnya atau hampir setara dengan 8% PDB tahun 2009. Utang pemerintah sebesar Rp1.700 triliun itu terdiri dari Rp968 triliun utang dalam negeri (57%) dan Rp732 triliun utang luar negeri (43%). Pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai program-program dan proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan kemanusiaan, kemiskinan, lingkungan, dan infrastruktur.

Meski jumlah utang bertambah besar, dalam lima tahun pemerintahan SBY, penyerapan utang terhitung maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat penyerapan yang rata-rata mencapai 95% dari total utang. Lalu, apa implikasi dari penyerapan ini? Nilai PDB Indonesia pun makin tinggi. Apabila ditelusuri lebih jauh, selama lima tahun terakhir, rasio utang negara terhadap PDB terlihat makin kecil, hingga menyentuh 32% pada 2009.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan fakta-fakta bahwa utang makin besar, tetapi tingkat penyerapan tinggi, PDB makin tinggi, dan rasio utang terhadap PDB makin rendah? Dengan jumlah utang meningkat rata-rata Rp80 triliun per tahun selama lima tahun terakhir, sementara nilai PDB rata-rata meningkat 6,35% tiap tahun pada 2005–2008 (dengan memakai tahun dasar 2000 sesuai data Bank Indonesia) dengan target PDB 2009 mendekati angka Rp1.000 triliun, dan rasio utang terhadap PDB makin kecil, maka dapat dikatakan bahwa salah satu faktor kunci pembangunan negara ini adalah utang. Rasio utang yang makin mengecil terhadap PDB bukanlah karena utangnya yang mengecil, melainkan karena PDB-nya yang makin membesar.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI, dapat dilihat bahwa pada APBN tahun anggaran 2009 terdapat kekurangan pembiayaan anggaran sebesar Rp204,837 miliar, yang terdiri dari Rp116,996 miliar untuk kebutuhan pembayaran utang (57%) dan Rp139,515 miliar untuk menutupi defisit (68%). Lalu, dari manakah sumber pembiayaan untuk menutupi kekurangan pembiayaan anggaran ini? Lagi-lagi berasal dari utang, sebesar 99% atau Rp201,772 miliar, baik berupa utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Jadi, boleh dibilang, Indonesia membayar utang dengan berutang alias gali lubang tutup lubang.
Masih menurut sumber data yang sama, pada 2033, atau 24 tahun dari sekarang, 98% utang dalam negeri pemerintah senilai Rp129 triliun akan jatuh tempo. Menurut data The Indonesia Economic Intelligence (IEI), dana sebesar Rp129 triliun itu merupakan dana eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang memang sudah harus dibayarkan kepada Bank Indonesia. BLBI sendiri hingga kini masih menjadi isu yang kontroversial dan belum tuntas penyelesaiannya.
Saat membuka Sidang Pleno I Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan bahwa pemerintah sekarang boleh dibilang sedang bangkrut atau tidak punya cukup uang untuk membangun dan membiayai perekonomian negara ini. “Government is broke. Penerimaan pemerintah berkurang karena pajak yang masuk berkurang,” kata Presiden ketika menyikapi kondisi perekonomian Indonesia saat krisis global terjadi. Pernyataan tersebut merefleksikan kondisi ekonomi nasional yang sangat rapuh saat menghadapi krisis. Maka, jalan untuk keluar dari masalah ini adalah lagi-lagi dengan berutang.

Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Neraca_pembayaran
http://ahmadfuadsobirin.blogspot.com/2011/03/neraca-pembayaranarus-modal-asingdan.html
http://candygloria.wordpress.com/2011/03/11/neraca-pembayaran-perekonomian-indonesia/
http://eandhrezpector.blogspot.com/2011_03_01_archive.html

Perekonomian Indonesia bab X

KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI


TEORI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Menurut Amir M.S., bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau quota barang impor.

Selain itu, kesulitan lainnya timbul karena adanya perbedaan budaya, bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, dan hukum dalam perdagangan.
Model Ricardian

Model Ricardian memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam Sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik produksi. Tidak seperti model lainnya, rangka kerja model ini memprediksi dimana negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Juga, model Ricardian tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara.
Model Heckscher-Ohlin

Model Heckscgher-Ohlin dibuat sebagai alternatif dari model Ricardian dan dasar kelebihan komparatif. Mengesampingkan kompleksitasnya yang jauh lebih rumit model ini tidak membuktikan prediksi yang lebih akurat. Bagaimanapun, dari sebuah titik pandangan teoritis model tersebut tidak memberikan solusi yang elegan dengan memakai mekanisme harga neoklasikal kedalam teori perdagangan internasional.

Teori ini berpendapat bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-o, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang dibuka dalam uji empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibanding memiliki kecukupan modal.
Faktor Spesifik

Dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangatlah mungkin ketika modal tidak bergerak antar industri pada satu masa pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar industri. Teori mensugestikan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut akan untuk pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengednalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya, kedua pemilik keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataan membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan.
Model Gravitasi

Model gravitasi perdagangan menyajikan sebuah analisa yang lebih empiris dari pola perdagangan dibanding model yang lebih teoritis diatas. Model gravitasi, pada bentuk dasarnya, menerka perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini meniru hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik diantara dua benda. Model ini telah terbukti menjadi kuat secara empiris oleh analisa ekonometri. Faktor lain seperti tingkat pendapatan, hubungan diplomatik, dan kebijakan perdagangan juga dimasukkan dalam versi lebih besar dari model ini.

PERKEMBANGAN EKSPOR INDONESIA

Sejak tahun 1987 ekspor Indonesia mulai didominasi oleh komoditi non migas dimana pada tahun-tahun sebelumnya masih didominasi oleh ekspor migas. Pergeseran ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan dan deregulasi di bidang ekspor, sehingga memungkinkan produsen untuk meningkatkan ekspot non migas. Pada tahun 1998 nilai ekspor non migas telah mencapai 83,88% dari total nilai ekspor Indonesia, sementara pada tahun 1999 peran nilai ekspor non migas tersebut sedikit menurun, menjadi 79,88% atau nilainya 38.873,2 juta US$ (turun 5,13%). Hal ini berkaitan erat dengan krisis moneter yang melanda indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Tahun 2000 terjadi peningkatan ekspor yang pesat, baik untuk total maupun tanpa migas, yaitu menjadi 62.124,0 juta US$ (27,66) untuk total ekspor dan 47.757,4 juta US$ (22,85%) untuk non migas. Namun peningkatan tersebut tidak berlanjut ditahun berikutnya. Pada tahun 2001 total ekspor hanya sebesar 56.320,9 juta US$ (menurun 9,34%), demikian juga untuk eskpor non migas yang menurun 8,53%. Di tahun 2003 ekspor mengalami peningkatan menjadi 61.058,2 juta US$ atau naik 6,82% banding eskpor tahun 2002 yang sebesar 57.158,8 juta US$. Hal yang sama terjadi pada ekspor non migas yang naik 5,24% menjadi 47.406,8 juta US$. Tahun 2004 ekspor kembali mengalami peningkatan menjadi 71.584,6 juta US$ (naik 17,24%) demikian juga ekspor non migas naik 18,0% menjadi 55.939,3 juta US$. Pada tahun 2006 nilai ekspor menembus angka 100 juta US$ menjadi 100.798,6 juta US$ atau naik 17,67%, begitu juga dengan ekspor non migas yang naik 19,81% dibandingkan tahun 2005 menjadi 79.589,1 juta US$.
Selama lima tahun terakhir, nilai impor Indonesia menunjukkan trend meningkat rata-rata sebesar 45.826,1 juta US$ per tahun. Pada tahun 2006, total impor tercatat sebesar 61.065,5 juta US$ atau meningkat sebesar 3.364,6 juta US$ (5,83%) dibandingkan tahun 2005. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya impor migas sebesar 1.505,2 juta US$ (8,62%) menjadi 18.962,9 juta US$ dan non migas sebesar 1.859,4 juta US$ (4,62%) menjadi 42.102,6 juta US$. Pada periode yang sama, peningkatan impor terbesar 54,15% dan non migas sebesar 39,51%.
Dilihat dari kontribusinya, rata-rata peranan impor migas terhadap total impor selama lima tahun terakhir mencapai 26,15% dan non migas sebesar 73.85% per tahun. Dibandingkan tahun sebelumnya, peranan impor migas meningkat dari 30,26% menjadi 31,05% di tahun 2006. Sedangkan peranan impor non migas menurun dari 69,74% menjadi 68,95%.

Pengutamaan Ekspor bagi Indonesia sudah digalakkan sejak tahun 1983. Sejak saat itu, ekspor menjadi perhatian dalam memacu pertumbuhan ekonomi seiring dengan berubahnya strategi industrialisasi-dari penekanan pada industri substitusi impor ke industri promosi ekspor. Konsumen dalam negeri membeli barang impor atau konsumen luar negeri membeli barang domestik, menjadi sesuatu yang sangat lazim. Persaingan sangat tajam antar berbagai produk. Selain harga, kualitas atau mutu barang menjadi faktor penentu daya saing suatu produk.

Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Oktober 2008 mencapai 118,43 juta US$ atau meningkat 26,92% dibanding periode yang sama tahun 2007, sementara ekspor non migas mencapai 92,26 juta US$ atau meningkat 21,63%. Sementara itu menurut sektor, ekspor hasil pertanian, industri, serta hasil tambang dan lainnya pada periode tersebut meningkat masing-masing 34,65%, 21,04%, dan 21,57% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Adapun selama periode ini pula, ekspor dari 10 golongan barang memberikan kontribusi 58,8% terhadap total ekspor non migas. Kesepuluh golongan tersebut adalah, lemak dan minyak hewan nabati, bahan bakar mineral, mesin atau peralatan listrik, karet dan barang dari karet, mesin-mesin atau pesawat mekanik. Kemudian ada pula bijih, kerak, dan abu logam, kertas atau karton, pakaian jadi bukan rajutan, kayu dan barang dari kayu, serta timah.

Selama periode Januari-Oktober 2008, ekspor dari 10 golongan barang tersebut memberikan kontribusi sebesar 58,80% terhadap total ekspor non migas. Dari sisi pertumbuhan, ekspor 10 golongan barang tersebut meningkat 27,71% terhadap periode yang sama tahun 2007. Sementara itu, peranan ekspor non migas di luar 10 golongan barang pada Januari-Oktober 2008 sebesar 41,20%.

Jepang pun masih merupakan negara tujuan ekspor terbesar dengan nilai US$11,80 juta (12,80%), diikuti Amerika Serikat dengan nilai 10,67 juta US$ (11,57%), dan Singapura dengan nilai 8,67 juta US$ (9,40%).

Peranan dan perkembangan ekspor non migas Indonesia menurut sektor untuk periode Januari-Oktober tahun 2008 dibanding tahun 2007 dapat dilihat pada. Ekspor produk pertanian, produk industri serta produk pertambangan dan lainnya masing-masing meningkat 34,65%, 21,04%, dan 21,57%.

Dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan Januari-Oktober 2008, kontribusi ekspor produk industri adalah sebesar 64,13%, sedangkan kontribusi ekspor produk pertanian adalah sebesar 3,31%, dan kontribusi ekspor produk pertambangan adalah sebesar 10,46%, sementara kontribusi ekspor migas adalah sebesar 22,10%.

Kendati secara keseluruhan kondisi ekspor Indonesia membaik dan meningkat, tak dipungkiri semenjak terjadinya krisis finansial global, kondisi ekspor Indonesia semakin menurun. Sebut saja saat ekspor per September yang sempat mengalami penurunan 2,15% atau menjadi 12,23 juta US$ bila dibandingkan dengan Agustus 2008. Namun, secara year on year mengalami kenaikan sebesar 28,53%.

TINGKAT DAYA SAING

Peringkat daya saing Indonesia meningkat cukup signifikan di arena global. Tahun 2010 daya saing Indonesia menduduki peringkat 44 dari 144 negara yang tahun sebelumnya pada 2009 di peringkat 54. Tentu, ini sebuah prestasi yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Namun, Indonesia tetap jangan lengah dalam menghadapi pasar global yang kian kompetitif ini.



Sebagai masyarakat Indonesia, pastinya bangga dan bahagia dengan keberhasilan Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan daya saing di arena global. Dalam The Global Competitiveness Report 2010-2011 yang dilansir oleh World Economic Forum (WEF) sebagai kick off atas pelaksanaan WEF Summer Davos di Tianjing, Cina pada September 2010 diungkapkan bahwa daya saing Indonesia kini berada di peringkat 44 dari 144 negara dari sebelumnya peringkat 54 pada 2009. Meningkatnya daya saing Indonesia di arena global tersebut, harus diakui tidak lepas dari peranan Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI yang dipimpin Mari Elka Pangestu, putri seorang ekonom kondang J. Panglaykim. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang merupakan Doktor ekonomi jebolan University of California AS ini memang cukup diandalkan, khususnya dalam mendongkrak kinerja perdagangan nasional maupun internasional. Menurut Mendag ada beberapa faktor yang membuat Indonesia mengalami kenaikan peringkat. Kenaikan peringkat ini terutama disebabkan oleh kondisi makro ekonomi Indonesia yang sehat dan perbaikan pada indikator pendidikan. Tingkat pendidikan di Indonesia semakin membaik sebagaimana diukur oleh Global Competitiveness Index 2009-2010. “Kondisi makro ekonomi Indonesia semakin membaik. iklim usaha di Indonesia sudah menunjukkan perbaikan, yakni mulai dari stabilitas makro, politik, dan pertumbuhan ekonomi sudah menunjukkan hasil positif,” ungkap Mendag Mari Elka Pangestu.

Keberhasilan kenaikan posisi daya saing Indonesia itu terutama didongkrak oleh signifikannya peningkatan peringkat beberapa pilar dari 12 pilar daya saing, yaitu Institutions, Infrastructure, Macroeconomic Environment, Health and Primary Education, Higher Education and Training, Goods Market Efficiency, Labour Market Efficiency, Financial Market Development, Technological Readiness, Market Size, Business Sophistication, dan Innovation. WEF sebagai forum yang menjadi acuan para pebisnis mancanegara melihat kinerja Pemerintah Indonesia semakin membaik di beberapa bidang, seperti perlindungan hak kekayaan intelektual naik peringkat dari 67 menjadi 58, tingkat tabungan nasional dari 40 menjadi 16, dan efektivitas kebijakan anti monopoli dari 35 menjadi 30, Indonesia pun dipandang membaik dalam hal perluasan dan dampak perpajakan, yakni naik dari peringkat 22 menjadi 17. Lalu pada pilar business sophistication juga meningkat, yaitu local supplier quantity dari 50 menjadi 43, value chain breadth dari 35 menjadi 26, control of international distribution dari 39 menjadi 33, dan production process sophistication dari 60 menjadi 52.



Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional

http://youbil-ekonomi.blogspot.com/2010/04/ekspor-impor-indonesia.html

http://ditjenpdn.kemendag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=55:daya-saing-meningkat-jangan-lengah-hadapi-pasar-global

Perekonomian Indonesia bab IX

Kebijakan Fiskal dan Moneter

1. Peran pemerintah secara umum
Dalam menjalankan roda ekonomi, suatu Negara akan sangat tergantung pada sistem apa yang akan mereka anut,karena hal ini sangat mempengaruhi peran yang akan dijalankan oleh Negara tersebut.Selain itu ideology juga menjadi faktor penentu dalam sistem perekonomian disuatu Negara.Hal ini pula yang menjadi pembeda dalam kegiatan perekonomian yang akan terlihat jelas pada setiap kebijakan atau keputusan-keputusan dalam proses pengelolaan ekonomi suatu Negara.
Hal ini pula yang semangkin menjelaskan peran pemerintah/ Negara dalam hal pemerataan distribusi pendapatan dan sebagai pengaawas (hisbah),yang tujuannya untuk mengawasi kinerja sistem pasar agar terwujud mekanisme pasar bebas.
Dalam hal pemecahan permasalahan perekonomian ,berdasarkan fakta hakikat permasalahan ekonomi tergantung pada bagaimana distribusi harta dan jasa yanga ada dalam masyarakat tersebut, titik berat pemecahan permasalahan ekonomi yakni bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil.
Menurut pemikiran Monzer Khaff peran Negara dalam menjalankan sistem perekonomian harus berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
1. Memajukan sector swasta dengan tetap memperhatikan kepentingan umum
2. Sumber daya alam dikelola secara barsama, dimana pengelola menyewa lahan kepada umum
3. Kebijakan investasi secara langsung
4. Proyek yang dikerjakan oleh individu, tetap dapat dinikmati oleh orang banyak

2. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
Pengaturan jumlah uang yang beredar pada masyarakat diatur dengan cara menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan moneter dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Kebijakan Moneter Ekspansif / Monetary Expansive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang edar
2. Kebijakan Moneter Kontraktif / Monetary Contractive Policy
Adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang edar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policu)
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)
Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
3. Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :
1. Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif.
2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif
Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.
3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)
Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan disiplin.
Sumber :
http://lismasetyowati.blogspot.com/2010/12/peran-pemerintah-untuk-mengatasi.html
http://organisasi.org/definisi-pengertian-kebijakan-moneter-dan-kebijakan-fiskal-instrumen-serta-penjelasannya

Perekonomian Indonesia bab VIII

SEKTOR PERTANIAN

Peranan Sektor Pertanian
Pada bagian awal akan dijelaskan mengenai kontribusi pertanian dalam mencapai keberhasilan pembangunan. Konsep strategi pembangunan berimbang merupakan tujuan pembangunan yang paling ideal. Akan tetapi negara berkembang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melaksanakan pembangunan di bidang pertanian dan industri sekaligus. Sehingga pemerintah negara berkembang harus menekankan pada pembangunan di sektor pertanian terlebih dahulu sebagai batu loncatan untuk pembangunan di bidang industri.
Bagian kedua menjelaskan masalah harga produk pertanian. Di sini dipermasalahkan apakah harga harus ditentukan oleh mekanisme pasar ataukah ditentukan oleh pemerintah, harga pertanian yang mahal akan menyebabkan konsumen tidak mampu membeli, di lain pihak harga pertanian yang terlalu murah akan menghambat produktivitas pertanian. Selain itu pada bagian kedua juga akan dibahas mengenai konsekuensi adanya penetapan harga. Disarankan bahwa harga seharusnya dibentuk melalui mekanisme pasar, intervensi pemerintah justru akan menimbulkan masalah. Di Indonesia sendiri, pemerintah Indonesia memegang kendali harga melalui Bulog, dengan tujuan melindungi petani, akan tetapi banyak kebijakan yang dipertanyakan seperti kebijakan impor beras dari luar negeri dengan tujuan menstabilkan harga. Hal ini justru membuat rakyat berpikir kalau pemerintah ingin menekan harga pertanian serendah mungkin, sebagai upaya menahan laju inflasi.
Pada bagian ketiga dijelaskan mengenai faktor-faktor produksi seperti tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Dijelaskan bahwa penggunaan tanah harus bijaksana, jangan sampai merusak kesuburannya. Pemerintah memiliki kewajiban memberikan informasi, pelatihan dan perkembangan teknologi kepada petani. Pendanaan di daerah pedesaan harus diciptakan untuk mendukung aktivitas pertanian. Aspek sosial dari teknologi yaitu green revolution juga dibahas secara mendalam. Penggunaan teknologi harus berhati-hati jangan sampai menyebabkan dampak yang tidak diinginkan, sehingga tercapai pembangunan pertanian yang sustainable.
Peran pemerintah harus dibatasi dengan membiarkan sektor swasta menjalankan roda pertanian, akan tetapi pemerintah harus mendukung pertanian dengan menyediakan infrastruktur, informasi, membangun pasar, dan membuat kebijakan publik yang tidak merugikan sektor pertanian. Selain itu pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan makro supaya tidak menghancurkan pertanian.
Pada bagian akhir dijelaskan bahwa di dunia sudah memiliki pasokan pangan yang cukup, akan tetapi terdapat masalah distribusi pangan pada beberapa daerah yang menyebabkan kelaparan. Juga dipermasalahkan mengenai pilihan antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Dari segi ekonomi ketahanan pangan lebih menguntungkan daripada swasembada pangan, hal ini didukung oleh teori keunggulan komparatif (comparative advantage) dari David Richardo.


Sektor Pertanian di Indonesia
Struktur perekonomian Indonesia merupakan topik strategis yang sampai sekarang masih menjadi topik sentral dalam berbagai diskusi di ruang publik. Kita sudah sering mendiskusikan topik ini jauh sebelum era reformasi tahun 1998. Gagasan mengenai langkah-langkah perekonomian Indonesia menuju era industrialisasi, dengan mempertimbangkan usaha mempersempit jurang ketimpangan sosial dan pemberdayaan daerah, sehingga terjadi pemerataan kesejahteraan kiranya perlu kita evaluasi kembali sesuai dengan konteks kekinian dan tantangan perekonomian Indonesia di era globalisasi.

Tantangan perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat.

Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.

Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.

Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia.

Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.

Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi.

Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan.

Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.

Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.

Nilai Tukar Petani
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB) yang dinyatakan dalam persentase. Secara konsepsional NTP adalah pengukur kemampuan tukar barang-barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian. Secara umum NTP menghasilkan 3 pengertian :
a.
NTP > 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu lebih baik dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar. b. NTP = 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu sama dengan NTP pada tahun dasar. c. NTP < 100 berarti NTP pada suatu periode tertentu menurun dibandingkan NTP pada tahun dasar. 2. Indeks harga yang diterima petani (IT) adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. 3. Indeks harga yang dibayar petani (IB) adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian. 4. Petani yang dimaksud disini adalah orang yang mengusahakan usaha pertanian (tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan rakyat) atas resiko sendiri dengan tujuan untuk dijual, baik sebagai petani pemilik maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil). Orang yang bekerja di sawah/ladang orang lain dengan mengharapkan upah (buruh tani) bukan termasuk petani. 5. Harga yang diterima petani adalah rata-rata harga produsen dari hasil produksi petani sebelum ditambahkan biaya transportasi/pengangkutan dan biaya pengepakan ke dalam harga penjualannya atau disebut farm gate (harga di sawah/ladang setelah pemetikan). Pengertian harga rata-rata adalah harga yang bila dikalikan dengan volume penjualan petani akan mencerminkan total uang yang diterima petani tersebut. Data harga tersebut dikumpulkan dari hasil wawancara langsung dengan petani produsen. 6. Harga yang dibayar petani adalah rata-rata harga eceran barang/jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani, baik untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya sendiri maupun untuk keperluan biaya produksi pertanian. Data harga barang untuk keperluan produksi pertanian dikumpulkan dari hasil wawancara langsung dengan petani, sedangkan harga barang/jasa untuk keperluan konsumsi rumah tangga dicatat dari hasil wawancara langsung dengan pedagang atau penjual jasa di pasar terpilih. 7. Pasar adalah tempat dimana terjadi transaksi antara penjual dengan pembeli atau tempat yang biasanya terdapat penawaran dan permintaan. Pada kecamatan yang sudah terpilih sebagai sampel, pasar yang dicatat haruslah pasar yang mewakili dengan syarat antara lain : paling besar, banyak pembeli dan penjual jenis barang yang diperjualbelikan cukup banyak dan terjamin kelangsungan pencatatan harganya serta terletak di desa rural. 8. Harga eceran pedesaan adalah harga transaksi antara penjual dan pembeli secara eceran di pasar setempat untuk tiap jenis barang yang dibeli dengan tujuan untuk dikonsumsi sendiri dan bukan untuk dijual kepada pihak lain. Harga yang dicatat adalah harga modus (yang terbanyak muncul) atau harga rata- rata biasa dari beberapa pedagang/penjual yang memberikan datanya. Investasi di Sektor Pertanian Sektor pertanian masih memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara berkembang yang masih relatif tertinggal dalam penguasaan Iptek muktahir serta masih menghadapi kendala keterbatasan modal, jelas belum memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) pada sektor ekonomi yang berbasis Iptek dan padat modal. Oleh karena itu pembangunan ekonomi Indonesia sudah selayaknya dititikberatkan pada pembangunan sektor-sektor ekonomi yang berbasis pada sumberdaya alam, padat tenaga kerja, dan berorientasi pada pasar domestik. Dalam hal ini, sektor pertanianlah yang paling memenuhi persyaratan. Kedua, menurut proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 228-248 juta jiwa pada tahun 2008-2015. Kondisi ini merupakan tantangan berat sekaligus potensi yang sangat besar, baik dilihat dari sisi penawaran produk (produksi) maupun dari sisi permintaan produk (pasar) khususnya yang terkait dengan kebutuhan pangan. Selain itu ketersedian sumber daya alam berupa lahan dengan kondisi agroklimat yang cukup potensial untuk dieksplorasi dan dikembangkan sebagai usaha pertanian produktif merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Ketiga, walaupun kontribusi sektor pertanian bagi output nasional masih relatif kecil dibandingkan sektor lainnya yakni hanya sekitar 12,9 persen pada tahun 2006 namun sektor pertanian tetap merupakan salah satu sumber pertumbuhan output nasional yang penting. Berdasarkan data BPS, pada Bulan Februari 2007 tercatat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar, yakni sekitar 44 persen. Keempat, sektor pertanian memiliki karakteristik yang unik khususnya dalam hal ketahanan sektor ini terhadap guncangan struktural dari perekonomian makro (Simatupang dan Dermoredjo, 2003 dalam Irawan, 2006). Hal ini ditunjukkan oleh fenomena dimana sektor ini tetap mampu tumbuh positif pada saat puncak krisis ekonomi sementara sektor ekonomi lainnya mengalami kontraksi. Saat kondisi parah dimana terjadi resesi dengan pertumbuhan PDB negatif sepanjang triwulan pertama 1998 sampai triwulan pertama 1999, nampak bahwa sektor pertanian tetap bisa tumbuh dimana pada triwulan 1 dan triwulan 3 tahun 1998 pertumbuhan sektor pertanian masing-masing 11,2 persen, sedangkan pada triwulan 1 tahun 1999 tumbuh 17,5 persen. Adapun umumnya sektor nonpertanian pada periode krisis ekonomi yang parah tersebut pertumbuhannya adalah negatif Ketertarikan Pertanian dengan Industri Manufaktur Menurut Suhendra (2004) di banyak negara, sektor pertanian yang berhasil merupakan prasyarat bagi pembangunan sektor industri dan jasa. Para perancang pembangunan Indonesia pada awal masa pemerintahan Orde Baru menyadari benar hal tersebut, sehingga pembangunan jangka panjang dirancang secara bertahap. Pada tahap pertama, pembangunan dititikberatkan pada pembangunan sector pertanian dan industri penghasil sarana produksi peratnian. Pada tahap kedua, pembangunan dititikberatkan pada industri pengolahan penunjang pertanian (agroindustri) yang selanjutnya secara bertahap dialihkan pada pembangunan industri mesin dan logam. Rancangan pembangunan seperti demikian, diharapkan dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia yang serasi dan seimbang, tangguh menghadapi gejolak internal dan eksternal. Pada saat Indonesia memulai proses pembangunan secara terencana pada tahun 1969, pangsa sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 40 persen, sementara itu serapan tenaga kerja pada sector pertanian mencapai lebih dari 60 persen. Fakta inilah yang kemudian mengilhami penyusunan rencana, strategi dan kebijakan yang mengedepankan pembangunan pertanian sebagai langkah awal proses pembangunan. Kebijakan untuk menetapkan sektor pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi sesuai dengan rekomendasi Rostow dalam rangka persiapan tinggal landas (Simatupang dan Syafa’at, 2000). Lebih lanjut dinyatakan bahwa revolusi pertanian merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan upaya menciptakan prakondisi tinggal landas. Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi suatu negara juga dikemukakan oleh Meier (1995) sebagai berikut: (1) dengan mensuplai makanan pokok dan bahan baku bagi sektor lain dalam ekonomi yang berkembang, (2) dengan menyediakan surplus yang dapat diinvestasikan dari tabungan dan pajak untuk mendukung investasi pada sektor lain yang berkembang, (3) dengan membeli barang konsumsi dari sektor lain, sehingga akan meningkatkan permintaan dari penduduk perdesaan untuk produk dari sektor yang berkembang, dan (4) dengan menghapuskan kendala devisa melalui penerimaan devisa dengan ekspor atau dengan menabung devisa melalui substitusi impor. Sumber : http://www.yohanli.com/peranan-pertanian-dalam-pembangunan.html http://metrotvnews.com/metromain/analisdetail/2010/06/09/23/Sektor-Pertanian-dan-Struktur-Perekonomian-Indonesia http://www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/ntp.htm http://www.brighten.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=60:investasi-pertanian&catid=47:indra&Itemid=80 http://ruslhysyam-motivasi.blogspot.com/p/perekonomian-indonesia.html http://findiyuningsih.blogspot.com/2011/03/tugas-perekonomian-indonesia-sektor.html

Perekonomian Indonesia bab VII

INDUSTRIALISASI

1. Konsep dan Tujuan Industrialisasi
· Awal konsep industrialisasiè Revolusi industri abad 18 di Inggris è Penemuan metode baru dlm pemintalan dan penemuan kapas yg menciptakan spesialisasi produksi dan peningkatan produktivitas factor produksi.
· Selanjutnya penemuan baru pengolahan besi & mesin uap shg mendorong inovasi è Baja, kereta dan kappa tenaga uap.
· Setelah PD II muncul teknolgi baru è Asembly line, listrik, motor, barang sintetis, telekomunikasi, elektronik, bio, computer & robot
· Pola dan Volume Perdagangan Dunia dan Proses Industrialisasi di dunia

Industrialisasiè suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi.
Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya beberapa Negara dengan penduduk sedikit & kekayaan alam meilmpah seperti Kuwait & libya ingin mencapai pendapatan yang tinggi tanpa industrialisasi.

2. Faktor-faktor Pendorong Industrialisasi


Faktor pendorong industrialisasi (perbedaan intesitas dalam proses industrialisasi antar negara) :
a) Kemampuan teknologi dan inovasi
b) Laju pertumbuhan pendapatan nasional per kapita
c) Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri. Negara yang awalnya memiliki industri dasar/primer/hulu seperti baja, semen, kimia, dan industri tengah seperti mesin alat produksi akan mengalami proses industrialisasi lebih cepat
d) Besar pangsa pasar DN yang ditentukan oleh tingkat pendapatan dan jumlah penduduk. Indonesia dengan 200 juta orang menyebabkan pertumbuhan kegiatan ekonomi
e) Ciri industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap implementasi, jenis industri unggulan dan insentif yang diberikan.
f) Keberadaan SDA. Negara dengan SDA yang besar cenderung lebih lambat dalam industrialisasi
g) Kebijakan/strategi pemerintah seperti tax holiday dan bebas bea masuk bagi industri orientasi ekspor.

3. Perkembangan Sektor Industri Manufaktur di Indonesia
Industri diklasifikasikan:
a) Industri primer/hulu yaitu mengolah output dari sektor pertambangan (bahan mentah) menjadi bahan baku siap pakai untuk kebutuhan proses produksi pada tahap selanjutnya
b) Industri sekunder/manufaktur yang mencakup: industri pembuat modal (mesin), barang setengah jadi dan alat produksi, dan industri hilir yang memproduksi produk konsumsi

A. Pertumbuhan output.
Pertumbuhan output yang tinggi disebabkan oleh permintaan eksternal yang tinggi. Pertumbuhan PDB 3 sektor penting di LDCs sebagai berikut:

Sumber Utama Pertumbuhan PDB menurut Tiga Sektor di Negara Berkembang 1970 -1995 (%)
Sektor

Laju Pertumbuhan Rata rata

Pangsa dari Kontribusi thd Pertumbuhan PDB
Pertanian

2,7

3,4

2,4

2,9

10,5

16

8,2

13,9
Manufaktur

6,8

4,6

6,9

5,9

21,3

26

32,1

22,9
Jasa

6,3

3,6

4,5

4,9

50,3

49,4

46,4

47,6
PDB

5,7

3,5

4,7

4,6

100

100

100

100

§ Laju pertumbuhan output rata rata pertahun untuk sektor manufaktur (22,9 %) lebih tinggi dari pertanian (13,9%) periode 1970 – 1995.
§ Kontribusi thd pertumbuhan PDB 1970 – 1980 (21,3 %) & 1990 – 1995 (32,1%)
§ Pertmbuhan output sektor manufaktur karena permintaan eksternal èekspor tinggi

Sumber Utama Pertumbuhan PDB menurut Tiga Sektor di Negara Asia Timur & Tenggara 1970 -1995 (%)
Sektor

Laju Pertumbuhan Rata rata

Pangsa dari Kontribusi thd Pertumbuhan PDB
Pertanian

1,9

3,2

3,3

2,7

23,6

22,4

22,1

26,2
Manufaktur

4,3

6,9

4,6

5,4

15,5

17,2

15,9

15,0
Jasa

4,3

6,2

5,1

5,2

49,4

49,4

52,7

46,1
PDB

3,3

5,3

4,5

4,3

100

100

100

100
§ Laju pertumbuhan PDB wilayah ini rata rata pertahun 7,4% periode 1970 – 1995 lebih tinggi dari pertumbuhan PDB dunia 2,9 % dan laju pertumbuhan PDB negara berkembang 4,6 %

Tingkat perkembangan industri manufaktur dapat dilihat dari pendalaman struktur industri itu sendiri. Struktur industri:
1. Ragam produk è barang konsumsi, sederhana, barang konsumsi dg kandungan
teknologi yanglebih canggih, barang modal,
2. Intensitas pemakain faktor produksiè barang dengan padat karya dan barang
dengan padat modal
3. Orinetasi pasar è barang domestik & barang ekspor

B. Pendalaman Struktur Industri.
Pembangunan ekonomi jangka panjang dapat merubah pusat kekuatan ekonomi dari pertanian menuju industri dan menggeser struktur industri yang memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif.

Perubahan struktur industri disebabkan oleh
a) Penawaran aggregatè perkembangan teknolgi, kualitas SDM, inovasi material baru untuk produksi
b) Permintaan aggregatè peningkatan pendapatan perkapita yang mengubah volume & pola konsumsi

Berdasarkan analisis tingkat pendalaman struktur industri:

§ Orientasi perkembangan industri manuafktur di Indonesia masih pada barang
konsumsi sederhana seperti makanan, minuman pakaian jadi sampail bambu,
rotan & kayu
§ Sisi permintaan aggergat, pasar domestik barang konsumsi berkembang pesat
seiring laju penduduk & peningkatan pendapatan masyarakat per kapita
§ Sisi penawaran aggregat, Sarana dan prasarana menunjang untuk produksi
barang konsumsi tersebut dibandingkan barang modal
§ Aspek teknolgi, kandungan teknologi barang konsumsi lebih rendah

C. Tingkat Teknologi produk manufaktur.

Teknologi yang digunakan dalam industri manufaktur mencakup:
a) Tekonolgi tinggi mencakup: komputer, obat-obatan, produk elektronik, alat komunikasi dan sebagainya
b) Teknologi sedang mencakup: plastik, karet, produk logam sederhana, penyulingan minyak, produk mineral bukan logam
c) Teknolgi rendah mencakup: kertas, percetakan, tekstil, pakaian jadi, minuman, rokok, dan mebel

D. Ekspor
Kinerja ekspor dapat digunakan untuk mengukur hasil pembangunan industry manufaktur.

Tingkat Ekspor Manufaktur dan Sahamnya dalam Ekspor Total. (US$)



Ekspor Manufaktur per US1,000 dari PDB

% pangsa dalam ekspor total
1985

1997

%/TAHUN

1985

1997

BEDA
Thailand

69

267

12

38

71

33
Korsel

293

267

-1

91

91

0
Malaysia

136

611

13

27

77

50
Filipina

40

135

11

27

45

18
Indonesia

31

132

15

14

52

28
India

25

66

8

58

74

16
Polandia

102

138

3

63

73

10
Argentina

20

28

3

21

34

13
Afrika Selatan

Na

91

15

Na

58

-


E. Ketergantungan Impor
Ketergantungan terhadap impor juga merupakan indicator keberhasilan pembangunan sector industry.

Saldo Neraca Perdagangan Manufaktur Indonesia (US$ milyar)
Periode

Nilai ekspor

Nilai impor

Saldo
1975-1981

0,8

6,3

-5,5
1982-1984

1,8

10,3

-8,5
1985-1988

3,9

8,8

-4,9
1989-1993

13,4

18,6

-5,1
1994-1997

24,4

29,5

-5,1
1998-1999

27,2

16,9

10,3









4. Permasalahan dalam Industri Manufaktur
Industri manufaktur di LDCs lebih terbelakang dibandingkan di DCs, hal ini karena :
1. Keterbatasan teknologi
2. Kualitas Sumber daya Manusia
3. Keterbatasan dana pemerintah (selalu difisit) dan sektor swasta
4. Kerja sama antara pemerintah, industri dan lembaga pendidikan & penelitian
masih rendah

Masalah dalam industri manufaktur nasional:
1. Kelemahan struktural

* Basis ekspor & pasar masih sempitè walaupun Indonesia mempunyai banyak sumber daya alam & TK, tapi produk & pasarnya masih terkonsentrasi:

a. terbatas pada empat produk (kayu lapis, pakaian jadi, tekstil & alas kaki)
b. Pasar tekstil & pakaian jadi terbatas pada beberapa negara: USA, Kanada,
Turki & Norwegia
c. USA, Jepang & Singapura mengimpor 50% dari total ekspor tekstil &
pakaian jadi dari Indonesia
d. Produk penyumbang 80% dari ekspor manufaktur indonesia masih mudah
terpengaruh oleh perubahan permintaan produk di pasar terbatas
e. Banyak produk manufaktur terpilih padat karya mengalami penurunan
harga muncul pesaing baru seperti cina & vietman
f. Produk manufaktur tradisional menurun daya saingnya sbg akibat factor
internal seperti tuntutan kenaikan upah

* Ketergantungan impor sangat tinggi

1990, Indonesia menarik banyak PMA untuk industri berteknologi tinggi seperti kimia, elektronik, otomotif, dsb, tapi masih proses penggabungan, pengepakan dan assembling dengan hasil:
a. Nilai impor bahan baku, komponen & input perantara masih tinggi diatas
45%
b. Industri padat karya seperti tekstil, pakaian jadi & kulit bergantung kepada
impor bahan baku, komponen & input perantara masih tinggi.
c. PMA sector manufaktur masih bergantung kepada suplai bahan baku &
komponen dari LN
d. Peralihan teknologi (teknikal, manajemen, pemasaran, pengembangan
organisasi dan keterkaitan eksternal) dari PMA masih terbatas
e. Pengembangan produk dengan merek sendiri dan pembangunan jaringan
pemasaran masih terbatas

* Tidak ada industri berteknologi menengah

a. Kontribusi industri berteknologi menengah (logam, karet, plastik, semen)
thd pembangunan sektor industri manufaktur menurun tahun 1985 -1997.
b. Kontribusi produk padat modal (material dari plastik, karet, pupuk, kertas,
besi & baja) thd ekspor menurun 1985 – 997
c. Produksi produk dg teknologi rendah berkembang pesat.

* Konsentrasi regional

industri mnengah & besar terkonsentrasi di Jawa.

2. Kelemahan organisasi

* Industri kecil & menengah masih terbelakangèproduktivtas rendahè Jumlah Tk masih banyak (padat Karya)
* Konsentrasi Pasar
* Kapasitas menyerap & mengembangkan teknologi masih lemah
* SDm yang lemah


5. Strategi Pengembangan Sektor Industri

Startegi pelaksanaan industrialisasi:
1. Strategi substitusi impor (Inward Looking).
Bertujuan mengembangkan industri berorientasi domestic yang dapat
menggantikan produk impor. Negara yang menggunakan strategi ini adalah Korea
& Taiwan

Pertimbangan menggunakan strategi ini:
§ Sumber daya alam & Faktor produksi cukuo tersedia
§ Potensi permintaan dalam negeri memadai
§ Sebagai pendorong perkembangan industri manufaktur dalam negeri
§ Kesempatan kerja menjadi luas
§ Pengurangan ketergantungan impor, shg defisit berkurang

2. Strategi promosi ekspor (outward Looking)
Beorientasi ke pasar internasional dalam usaha pengembangan industri
dalam negeri yang memiliki keunggulan bersaing.

Rekomendasi agar strategi ini dapat berhasil :

* Pasar harus menciptakan sinyal harga yang benar yang merefleksikan kelangkaan barang ybs baik pasar input maupun output
* Tingkat proteksi impor harus rendah
* Nilai tukar harus realistis
* Ada insentif untuk peningkatan ekspor


Sumber :
kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/.../7-INDUSTRIALISASI+DAN+PERKEMBA NGAN.doc

Perekonomian Indonesia bab VI

PERKEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN

1. Peranan Sektor Pertanian
Menurut Kuznets, Sektor pertanian di LDC’s mengkontribusikan thd pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional dalam 4 bentuk:
a.Kontribusi Produk Penyediaan makanan utk pddk, penyediaan BB untuk industri manufaktur
spt industri: tekstil, barang dari kulit, makanan & minuman
b.Kontribusi Pasar Pembentukan pasar domestik utk barang industri & konsumsi
c.Kontribusi Faktor ProduksiPenurunan peranan pertanian di pembangunan ekonomi, maka
terjadi transfer surplus modal & TK dari sector pertanian ke Sektor lain
d.Kontribusi Devisa Pertanian sbg sumber penting bagi surplus neraca perdagangan (NPI) melalui ekpspor produk pertanian dan produk pertanian yang menggantikan produk impor.

Kontribusi Produk.
Dalam system ekonomi terbuka, besar kontribusi produk sector pertanian bisa lewat pasar dan lewat produksi dg sector non pertanian.
 Dari sisi pasar, Indonesia menunjukkan pasar domestic didominasi oleh produk pertanian dari LN seperti buah, beras & sayuran hingga daging.
 Dari sisi keterkaitan produksi, Industri kelapa sawit & rotan mengalami kesulitan bahan baku di dalam negeri, karena BB dijual ke LN dengan harga yg lebih mahal.

Kontribusi Pasar.
Negara agraris merup sumber bagi pertumbuhan pasar domestic untuk produk non pertanian spt
pengeluaran petani untuk produk industri (pupuk, pestisida, dll) & produk konsumsi (pakaian,
mebel, dll)
Keberhasilan kontribusi pasar dari sector pertanian ke sector non pertanian tergantung:
 Pengaruh keterbukaan ekonomi Membuat pasar sector non pertanian tidak hanya disi dengan produk domestic, tapi juga impor sbg pesaing, shg konsumsi yg tinggi dari petani tdk menjamin pertumbuhan yg tinggi sector non pertanian.
 Jenis teknologi sector pertanian Semakin moderen, maka semakin tinggi demand produk industri non pertanian

Kontribusi Faktor Produksi.
F.P yang dapat dialihkan dari sector pertanian ke sektor lain tanpa mengurangi volume produksi pertanian Tenaga kerja dan Modal

Di Indonesia hubungan investasi pertanian & non pertanian harus ditingkatkan agar
ketergantungan Indonesia pada pinjaman LN menurun. Kondisi yang harus dipenuhi untuk
merealisasi hal tsb:
 Harus ada surplus produk pertanian agar dapat dijual ke luar sectornya. Market surplus ini harus tetap dijaga & hal ini juga tergantung kepada factor penawaran  Teknologi, infrastruktur & SDM dan factor permintaan  nilai tukar produk pertanian & non pertanian baik di pasar domestic & LN
 Petani harus net savers Pengeluaran konsumsi oleh petani < produksi  Tabungan petani > investasi sektor pertanian

Kontribusi Devisa.
Kontribusinya melalui :
 Secara langsung ekspor produk pertanian & mengurangi impor.
 Secara tidak langsung peningkatan ekspor & pengurangan impor produk
berbasis pertanian spt tekstil, makanan & minuman, dll

Kontradiksi kontribusi produk & kontribusi devias peningkatan ekspor produk pertanian
menyebabkan suplai dalam negari kurang dan disuplai dari produk impor. Peningkatan ekspor
produk pertanian berakibat negative thd pasokan pasar dalam negeri. Untuk menghindari trade
off ini 2 hal yg harus dilakukan:
 Peningkatan kapasitas produksi.
 Peningkatan daya saing produk produk pertanian

2. Sektor Pertanian di Indonesia

 Selama periode 1995-1997 PDB sektor pertanian (peternakan, kehutanan & perikanan) menurun & sektor lain spt menufaktur meningkat.
 Sebelum krisis moneter, laju pertumbuhan output sektor pertanian < ouput sektor non pertanian  1999 semua sektor turun kecuali listrik, air dan gas. Rendahnya pertumbuhan output pertanian disebabkan:  Iklim kemarau jangka panjang berakibat volume dan daya saing turun  Lahan lahan garapan petani semakin kecil  Kualitas SDM rendah  Penggunaan Teknologirendah Sistem perdagangan dunia pasca putaran Uruguay (WTO/GATT) ditandatangani oleh 125 negara anggota GATT telah menimbulkan sikap optimisme & pesimisme Negara LDC’s:  Optimis Persetujuan perdagangan multilateral WTO menjanjikan berlangsungnya perdagangan bebas didunia terbebas dari hambatan tariff & non tariff  Pesimis Semua negara mempunyai kekuatan ekonomi yg berbeda. DC’s mempunyai kekuatan > LDC’s

Perjanjain tsb merugikan bagi LDC’s, karena produksi dan perdagangan komoditi pertanian, industri & jasa di LDC’s masih menjadi masalah besar & belum efisien sbg akibat dari rendahnya teknologi & SDM, shg produk dri DC’s akan membanjiri LDC’s.

Butir penting dalam perjanjian untuk pertanian:
 Negara dg pasar pertanian tertutup harus mengimpor minimal 3 % dari kebutuhan konsumsi domestik dan naik secara bertahap menjadi 5% dlm jk waktu 6 tahun berikutnya
 Trade Distorting Support untuk petani harus dikurangi sebanyak 20% untuk DC’s dan 13,3 % untuk LDC’s selama 6 tahun
 Nilai subsidi ekspor langsung produk pertanian harus diturunkan sebesar 36% selama 6 tahun & volumenya dikurangi 12%.
 Reformasi bidang pertanian dlm perjanjian ini tdk berlaku utk negara miskin

Temuan hasil studi dampak perjanjian GATT:
 Skertariat GATT (Sazanami, 1995) Perjanjian tsb berdampak + yakni peningkatan pendapatan per tahun  Eropa Barat US $ 164 Milyar, USA US$ 122 Milyar, LDC’s & Eropa Timur US $ 116 Milyar. Pengurangan subsidi ekspor sebesar 36 % dan penurunan subsidi sector pertanian akan meningkatkan pendapatan sector pertanian Negara Eropa US $ 15 milyar & LDC’s US $ 14 Milyar
 Goldin, dkk (1993) Sampai th 2002, sesudah terjadi penurunan tariff & subsidi 30% manfaat ekonomi rata-rata pertahun oleh anggota GATT sebesar US $ 230 Milyar (US $ 141,8 Milyar / 67%0 dinikmati oleh DC’s dan Indonesia rugi US $ 1,9 Milyar pertahaun
 Satriawan (1997) Sektor pertanian Indonesia rugi besar dlm bentuk penurunan produksi komoditi pertanian sebesar 332,83% dengan penurunan beras sebesar 29,70% dibandingkan dg Negara ASIAN
 Feridhanusetyawan, dkk (2000) Global Trade Analysis Project mengenai 3 skenario perdagangan bebas yakni Putaran Uruguay, AFTA & APEC. Ide dasarnya: apa yang terjadi jika 3 skenario dipenuhi (kesepakatan ditaati) dan apa yang terjadi jika produk pertanian diikutsertakan? Perubahan yang diterapkan dalam model sesuai kesepakatan putaran Uruguay adalah:
a. Pengurangan pajak domestic & subsidi sector pertanian sebesar 20% di
DC’s dan 13 % di LDC’s
b. Penurunan pajak/subsidi ekspor sector pertanian 36% di DC’s & 24% di
LDC’s
c. Pengurangan border tariff untuk komoditi pertanian & non pertanian

Liberalisasi perdagangan berdampak negative bagi Indonesia thd produksi padi & non gandum. Untuk AFTA & APEC, liberalisasi perdagangan pertanian menguntungkan Indonesia dg meningkatnya produksi jenis gandum lainnya (terigu, jagung & kedelai). AFTAIndonesia menjadi produsen utama pertanian di ASEANdan output pertanian naik lebih dari 31%. Ekspor pertanian naik 40%.

3. Nilai Tukar Petani (NTP)

Nilai tukar nilai tukar suatu barang dengan barang lainnya. Jika harga produk A Rp 10 dan produk B Rp 20, maka nilai tukar produk A thd B=(PA/PB)x100% =1/2. Hal ini berarti 1 produk A ditukar dengan ½ produk B. Dengan menukar ½ unit B dapat 1 unit A. Biaya opportunitasnya adalah mengrobankan 1 unit A utk membuat ½ unit B.

Dasar Tukar (DT):
 DT dalam negeri pertukaran 2 barang yang berbeda di dalam negeri dg mata uang nasional
 DT internasional / Terms Of Trade pertukaran 2 barang yang berbeda di dalam negeri dg mata uang internasional

Nilai Tukar Petani Selisih harga output pertanian dg harga inputnya (rasio indeks harga yang diterima petani dg indeks harga yang dibayar).
Semakin tinggi NTP semakin baik.

NTP setiap wilayah berbeda dan ini tergantung:
 Inflasi setiap wilayah
 Sistem distribusi input pertanian
 Perbedaan ekuilibrium pasar komoditi pertanian setiap wilayah (D=S)
D>S harga naik & D

Pekembangan NTP tsb menunjukkan pertani di JABAR & JATENG rugi dan di Yogja & JATIM untung. Hal ini dsebabkan oleh byk factor termasuk system distribusi pupuk di Yogya & JATIM lebih baik dari JABAR & JATENG.

4. Investasi di Sektor Pertanian
Investasi di sector pertanian tergantung :
 Laju pertumbuhan output
 Tingkat daya saing global komoditi pertanian

Investasi:
 Langsung Membeli mesin
 Tdk Langsung Penelitian & Pengembangan

Hasil penelitian:
 Supranto (1998) laju pertumbuhan sektor ini rendah, karena PMDN & PMA serta kerdit yg mengalir kecil. Hal ini karena resiko lebih tinggi (gagal panen) dan nilai tambah lebih kecil di sektor pertanian.
Tabel 5.17 Investasi di sektor pertanian & industri manufaktur (Rp milyar) 1993-96
Sektor 1993 1994 1995 1996
Pertanian 2.735 4.545 7.128 15.284
Manufaktur 24.032 31.922 43.342 59.218

 Simatupang (1995) kredit perbankan lebih byk megalir ke sektor non pertanian & jasa dibanding ke sektor pertanian.
Tabel 5.18 Kredit Perbankan di sektor pertanian & industri manufaktur (Rp milyar) 1993-96
Sektor 1993 1994 1995 1996
Pertanian 7.846 8.956 9.841 11.010
Manufaktur 11.346 13.004 15.324 15.102
Penurunan ini disebabkan ROI sector pertanian +/- 15 %,shg tdk menarik.

5. Keterkaitan Pertanian dg Industri Manufaktur

Salah satu penyebab krisis ekonomi kesalahan industrialisasi yg tidak berbasis pertanian. Hal ini terlihat bahwa laju pertumbuhan sector pertanian (+) walaupu kecil, sedangkan industri manufaktur (-). Jepang, Taiwan & Eropa dlm memajukan industri manufaktur diawali dg revolusi sector pertanian.

Alasan sector pertanian harus kuat dlm proses industrialisasi:
 Sektor pertanian kuat pangan terjamin tdk ada laparkondisi sospol stabil
 Sudut Permintaan Sektor pertanian kuat pendapatan riil perkapita naik permintaan oleh petani thd produk industri manufaktur naik berarti industri manufaktur berkembang & output industri menjadi input sektor pertanian
 Sudut Penawaran permintaan produk pertanian sbg bahan baku oleh industri manufaktur.
 Kelebihan output siktor pertanian digunakan sbg sb investasi sektor industri manufaktur spt industri kecil dipedesaan.

Kenyataan di Indonesia keterkaitan produksi sektor pertanian dam industri manufaktur sangat lemah dan kedua sektor tersebut sangat bergantung kepada barang impor.


Sumber:
kuswanto.staff.gunadarma.ac.id/.../6-PERKEMBANGAN+SEKTOR+PERTANIAN.doc

Perekonomian Indonesia bab V

Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

1. Pembangunan Ekonomi Regional
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.
Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan
Perkembangan teori ekonomi pertumbuhan dan meningkatnya ketersediaan data daerah mendorong meningkatnya perhatian terhadap ketidakmerataan pertumbuhan daerah. Teori ekonomi pertumbuhan dimulai oleh Robert Solow yang dikenal dengan Model pertumbuhan neo-klasik. Dan beberapa ahli ekonomi Amerika mulai menggunakan teori pertumbuhan tersebut dengan menggunakan data-data daerah.

Untuk melihat ketidaknmerataan pertumbuhan regional dapat ditentukan dengan beberapa cara. Secara umum dalam menghitung pertumbuhan dengan; 1. pertumbuhan output; 2. pertumbuhan output per pekerja; dan, 3. pertumbuhan output perkapita. Pertumbuhan output digunakan untuk mengetahui indikator kapasitas produksi. Pertumbuhan output per pekerja seringkali digunakan untuk mengetahui indikator dari perubahan tingkat kompetitifitas daerah, sedangkan pertumbuhan output perkapita digunakan sebagai indikator perubahan dari kesejahteraan .
Model Pertumbuhan Regional
Fungsi produksi agregat merupakan dasar dari model pertumbuhan neoklasik. Hubungan tersebut ditujukkan dalam bentuk sebagai berikut:
Y = F(K,L)
Dimana, Y adalat output riil, K adalah capital stock, dan L adalah tenaga kerja.
Dalam bentuk Cobb Douglas dengan asumsi constant return to scale yaitu;
Y = AKαL1-α
y = Akα , dimana y = K/L dan k = K/L
Fungsi produksi perkapita menunjukan bahwa output per pekerja hanya akan meningkat jika modal per pekerja meningkat. Dengan kata lain modal harus terus tumbuh lebih cepat daripada penawaran tenaga kerja dari output per pekerja.
Agar lebih realistis maka model neoklasik diatas harus ditambah dengan efek apabila adanya teknologi pada pertumbuhan output.
Y = F(A,K,L), dimana A adalah technical knowledge (teknologi).
Dalam bentuk Cobb-Douglas,
Y = AegtKαL1-αdimana g adalah technical progress per time
Dari bentuk neoklasik diatas, kita dapat mengidentifikasi tiga alasan terjadinya ketidakmerataan pertumbuhan regional yaitu;
1. Technical progress berubah diantara region;
2. Pertumbuhan capital stock berubah diantara region;
3. Pertumbuhan tenaga kerja berubah diantara region.
pada region r diharapkan berubah diantara region (paling tidak dalam jangka menengah). Dengan memasukkan pertumbuhan tenaga kerja pada kedua sisi, kita dapatkan;
Selanjutnya, ketidamerataan regional dalam pertumbuhan output per tenaga kerja dapat dijelaskan oleh perbedaan regional dalam rate of technical progress dan oleh perbedaan regional dalam rasio pertumbuhan kapital/tenaga kerja.
Pertumbuhan kapital stok daerah didorong dengan adanya investasi baik dari daerah itu sendiri atau daerah lain. Pertumbuhan tenaga kerja juga didorong oleh adanya migrasi tenaga kerja dari daerah lain karena adanya perbedaan upah relatif terhadap daerah lain disamping akibat tumbuhnya angkatan kerja baru karena pertumbuhan populasi. Untuk pertumbuhan teknologi tentunyajuga dipengaruhi oleh masuknya sumberdaya dari daerah lain dan perkembangan pendidikan atau pengetahuan melalui R&D.

2. Faktor-faktor penyebab ketimpangan
Ada 2 faktor penyebab ketimpangan pembangunan, faktor pertama adalah karena ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) diantara pelaku-pelaku ekonomi. Sedangkan faktor kedua karena strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan (growth).
Sebagian ketidaksetaraan anugerah awal itu bersifat alamiah (natural) atau bahkan ilahiah. Akan tetapi sebagian lagi bersifat structural. Ketidaksetaraan itu berakibat peluang dan harapan untuk berkiprah dalam pembangunan menjadi tidak seimbang.
Ditumpukkannya strategi pembangunan pada aspek petumbuhan, bukanlah tidak beralasan. Secara akademik, baru pertumbuhanlah yang telah memiliki teori-teori yang mantap dalam konsep pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau rancangan pebangunan lebih menyandarkan rencana pembangunannya pada aspek pertumbuhan.
Pembangunan Indonesia bagian Timur
Pembangunan infrastruktur di Indonesia mengalami pasang surut terutama saat Indonesiadilanda krisis ekonomi. Pembangunan infrastruktur mengalami hambatan pembiayaan karena sampai sejauh ini, titik berat pembangunan masih difokuskan pada investasi sektor-sektor yang dapat menghasilkan perputaran uang (cash money) yang tinggi dengan argumentasi bahwa hal itu diperlukan guna memulihkan perekonomian nasional.
Sedangkan pembangunan infrastruktur lebih difokuskan pada usaha perbaikan dan pemeliharaan saja. Dengan demikian dewasa ini, pembangunan infrastruktur kawasan timurIndonesia belum menjadi focus utama pembangunan.
Pada saat ini sudah hampir menjadi kesimpulan umum bahwa infrastruktur adalah fundamental perekonomian Indonesia. Bahwa daerah atau kawasan Indonesia Timur merupakan wilayah strategis guna membangkitkan potensi nasional. Oleh karena itu hari ini adalah saat yang tepat guna meletakkan kemauan bersama menyusun konsep pembangunan infrstruktur kawasan Timur Indonesia yang bersumber pada kesadaran penguasaan teknologi dan keunggulan sumberdaya daerah.
Pemetaan kebutuhan infrastruktur lima tahun ke depan berdasarkan jenis inftrastruktur seperti; jalan, listrik, gas, air bersih, pelabuhan, telekomunikasi, moda transportasi, dan lain-lain serta berdasarkan tipologi kewilayahan.
Perumusan pembiayaan infrastruktur dan sumber pembiayaannya.
Pengkajian kerangka regulasi yang ada dan merekomendasikan penyempurnaan kerangka tersebut guna mendukung prioritas pembangunan dan pembiayaan infrastruktur
Penyusunan strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur ini diharapkan dapat menghasilkan peta pembangunan infrastruktur yang jelas di masa yang akan datang sehingga pemerintah mempunyai dokumen yang lengkap terhadap pembangunan infrastruktur.
Oleh karena itu, ruang lingkup dari penyusunan strategi ini mencakup seluruh aspek potensi ekonomi wilayah Indonesia Timur sebagai rumusan strategis pembangunan infrastruktur nasional, baik berdasarkan subsektor jenis infrastruktur dan maupun tipologi kewilayahan dengan basis pendekatan potensi.
Penyusunan strategi pembangunan dan pembiayaan infrastruktur kawasan timur Indonesiadiharapkan dapat menghasilkan Master Plan di bidang infrastruktur yang akan mendukung skenario pembangunan era baru ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Master Plan ini diharapkan dapat memuat berbagai data dan informasi mengenai pembangunan dan pembiayaan infrastruktur berdasarkan skala prioritas pembangunan dan regulasi yang mendukung arah pembangunannya.
Cerminan pembangunan infrastruktur nasional adalah pembangunan infrastruktur di tiap wilayah atau propinsi di Indonesia. Perkembangan pembangunan infrastruktur di masing-masing pulau di Indonesia memperlihatkan perbedaan yang cukup berarti. Dominasi pembangunan infrastruktur sangat ditentukan oleh kondisi geograsfis dan demografis dari suatu wilayah.
Dominasi infrastruktur ini dapat mencerminkan pula tingkat aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah. Perkembangan pembangunan infrastruktur untuk masing-masing pulau yang ada diIndonesia. Hal ini pula yang menjadi hambatan pembangunan infrastrukrur Kawasan TimurIndonesia.
Pada hal sejatinya jika Indonesia ingin percepatan mencapai kemajuan maka pendekatan potensi atau potential approach yaitu potensi yang mendorong tumbuhnya komoditas unggulan, hendaknya menjadi komintmen kuat terhadap pembangunan infrstruktur kawasan timur Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bahwa daerah Kalimantan Selatan sebagaimana daerah Kalimantanumumnya yang merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di wilayah negara kita. Tingkat kepadatan pendudukanya relative rendah sehingga tidak dimungkinkan untuk melakukan pendekatan demographic dalam perencanaan pembangunan infrastukturnya.
Dengan jumlah penduduk yang mendiami wilayah ini hanya sebesar 6% dari total pendudukIndonesia, maka akan berdampak pada aktivitas ekonomi yang ada di wilayah ini. Kondisi semacam ini merupakan kondisi tipikal wilayah Indonesia Timur. Karenanya diperlukan langkah potential approach atau pendekatan potensial untuk pembangunan infrastrukturnya
Komoditas yang menjadi unggulan untuk wilayah ini adalah sektor pertambangan dan galian, sub sector perkebunan dan subsektor kehutanan. Ketiga sektor ini memberikan sumbangan besar bagi pendapatan nasional.
Dengan demikian terdapat pandangan berbeda mengenai pola perencanaan bahwa berdasarkan jumlah penduduk atau pendekatan demografik, aktivitas ekonomi unggulan yang tidak memerlukan banyak infrastruktur, maka akibatnya adalah persentase pembangunan infrastruktur di pulau ini lebih rendah dibandingkan pulau Jawa dan Sumatera.
Dilihat dari infrastruktur transportasi, pelabuhan laut lebih mendominasi dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini sangat wajar dengan kondisi geografis dari Kalimantan yang lebih banyak rawa dibandingkan dengan daratannya yang memungkinkan sektor pelabuhan laut dan lalulitas angkutan sungai, danau, dan penyeberangan lebih berkembang dibandingkan dengan transportasi darat.
Pembangunan jalan di pulau ini masih relative rendah bila dibandingkan dengan luas wilayah pulau ini. Hal ini sangat signifikan sekali dengan jumlah kendaraan yang berada di wilayah ini hanya sebesar 5,8% dari jumlah kendaraan yang ada di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan rendahnya tingkat mobilitas dan tingginya biaya transportasi sehingga wilayah ini kehilangan daya saingnya dalam menarik investasi.
Pandangan keliru juga terdapat pada subsektor pertanian tanaman pangan dan pengairan. Dapat kita temukan fakta bahwa irigasi tidak menjadi salah satu fokus pembangunan infrastruktur karena wilayah ini bukan sebagai lumbung padi tetapi lebih cenderung pada komoditas kehutanan dan perkebunan.
Pada pada sisi lain kitapun memehami betul bahwa kondisi wilayah ini sangat dimungkinkan membangun jaringan irigasi guna menjadikan Kalimantan sebagai lumbung padi. Kita dapat belajar dan membandingkan kondisi wilayah ini dengan kondisi Vietnam yang petaninya lebih unggul dari petani kita bahkan tanpa proteksionisme perdagangan.
Saat ini akses masyarakat Kalimantan terhadap air bersih, hanya sebesar 44% yang dapat menikmati air bersih sedangkan sisanya belum mendapatkan akses terhadap air bersih.
Ini merupakan salah satu permasalahan yang harus menjadi perhatian, karena bila kondisi tersebut dibiarkan maka akan berdampak pada tingkat kesehatan dari masyarakat di Kalimantan. Bagaimana kita bisa mengembangkan sumber daya manusia yang handal dan mampu bersaing secara global bila tingkat hiegenitas masih rendah. Oleh karena itu akses terhadap air bersih perlu langkah prioritas pembangunan infrastrukturnya.
Demikian pula dengan subsektor telematika dan ketenagalistrikan perlu berpacu dengan irama pertumbuhan yang berkembang dengan pesat. Hal ini sejalan dinamika dan aktivitas dari masyarakat di pulau Kalimantan.
Pembukan lahan menjadi lahan pertanian yang notabene terjadi perubahan fungsi seringkali memicu kotroversi yang kontraproduktif, hendaknya dipelajari kembali dengan seksasama agar tidak terdapat resistensi pembangunan hanya sekadar penolakan emosional, namun sebaliknya kehilangan informasi berharga tentang potensi ekonomi yang mempunyai keunggulan tertentu.
Akhirnya kita juga mengapeal akan pentingnya kesadaran tentang pembangunan infrastruktur berkaitan dengan upaya strategis percepatan pertumbuhan ekonomi, hendaknya secara nyata mengurangi hambatan birokratis di semua lini baik pada tingkat pemerintah pusat maupun pada tingkat pemerintah daerah dan pemerintah kabupaten.

4. Teori dan Analisis Pembangunan Ekonomi Daerah
Perbedaan karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1. Membangun setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi intinya.
2. Menciptakan proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3. Memberikan peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut”.
Model pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan (leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor lainnya.
Terdapat pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995) adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan menurut Reeve (1995) adalah :
“Aset yang memiliki keunikan yang tinggi, sulit ditiru, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik, sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti”.

5. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan


Referensi:
http://dinskeey.blogspot.com
http://jaolangi.wordpress.com/2010/05/10/kebijakan-makro-pengembangan-ekonomi-daerah-%E2%80%9Czona-pengembangan-ekonomi-daerah%E2%80%9Dkebijakan-makro-pengembangan-ekonomi-daerah-%E2%80%9Czona-pengembangan-ekonomi-daerah%E2%80%9D/

http://syamjr.wordpress.com/2007/08/23/kawasan-indonesia-timur-butuh-rumusan-strategis-pembangunan-infrastuktur-nasional-berbasis-potensi/

http://nanangsubekti.blogspot.com/2007/12/perkembangan-teori-ekonomi-pertumbuhan_1170.html